Pada 25 Januari 2024 silam, Ikatan Alumni Fakultas Hukum Atma Jaya Yogyakarta (IKAHUM Atma Jogja) bekerjasama dengan Yayasan Kitiran Foundation, DF Labs, dan Klikhukum.id menyelenggarakan sebuah diskusi publik berupa webinar yang membahas topik “Hukum dan Etika Penggunaan Kecerdasan Buatan ( AI ) dalam Pemilu 2024.”

Diskusi tersebut mengulas strategi kampanye Pemilu 2024 yang memanfaatkan teknologi, khususnya kecerdasan buatan ( AI ). Dr. Johanes Widijantoro, S.H., M.H., hadir sebagai pembicara utama, beliau menekankan bahwa sampai saat ini belum ada undang-undang yang mengatur AI secara khusus, sehingga penggunaannya harus memperhatikan etika.

Dalam forum diskusi tersebut, narasumber pertama, yakni Almer Akbar, memberikan penjelasan singkat mengenai berbagai jenis kecerdasan buatan (AI), termasuk ChatGPT dan DALL-E beserta fungsi-fungsinya. Almer mengungkapkan berbagai macam potensi AI, contohnya ChatGPT yang dapat mengambil alih tugas-tugas yang biasanya dilakukan oleh manusia, seperti tugas-tugas manajerial yang umumnya dikerjakan di kantor.

Mengenai regulasi hukum, sebagai seorang praktisi dan pengamat AI, Almer menyatakan bahwa pembuatan regulasi yang terlalu ketat berpotensi menghambat perkembangan inovasi AI. Ia mencontohkan negara-negara seperti Amerika Serikat dan beberapa negara bagiannya yang memiliki regulasi AI yang fleksibel untuk mendorong inovasi AI.

Dalam diskusi yang semakin hangat, Sabrang Mowo Damar Panuluh, B.Sc., selaku penasehat dari Kitiran Pelangi Ilmu, menyoroti urgensi peraturan terkait kecerdasan buatan (AI). Sabrang menegaskan bahwa perlunya keseimbangan antara inovasi teknologi dan pengendalian etika yang relevan. Baginya, jika regulasi dibuat terlalu ketat, dikhawatirkan menjadi penghambat kemajuan inovasi AI. Oleh karena itu, diperlukan aturan dan etika yang memungkinkan perkembangan teknologi tetapi tetap memperhatikan aspek-etika yang diperlukan.

Berkaitan dengan isu pemilihan umum, Sabrang menekankan bahwa penggunaan AI seharusnya difokuskan pada hal-hal yang positif. Contohnya, penggunaan AI untuk mencari tahu dan menggali visi misi atau program kerja Capres-Cawapres, dan para Caleg, agar tidak terjadi salah pilih. Penggunaan AI yang positif seperti itu ada pada platform podium2024.id. Penggunaan AI tidak seharusnya disalahgunakan untuk menyebarkan berita palsu atau isu-isu yang berpotensi mengganggu jalannya pemilu. Oleh karena itu, sebagai pemilih, kita dituntut untuk lebih sadar dan cerdas dalam menyikapi informasi, karena pada akhirnya, pengendalian atas penggunaan AI sebenarnya berada di tangan kita, manusia yang menggunakannya.

Rasa penasaran peserta direspons Sabrang dengan melakukan demo podium2024.id. Dalam sesi demo ini, Sabrang menunjukkan bagaimana kecerdasan buatan dapat dimanfaatkan dalam proses demokrasi dengan nilai-nilai positif dan beretika. Melalui platform tersebut, siapapun sekarang dapat berkomunikasi langsung dengan salah satu atau bahkan semua calon presiden. Selain itu, melalui podium2024.id, kita juga dapat berkomunikasi dengan para calon legislatif.

Narasumber berikutnya adalah Dr. Sari Murti W, yang menyoroti pentingnya etika dalam pengembangan dan penggunaan kecerdasan buatan (AI) untuk memastikan dampak positif dan menjaga tanggung jawab dalam penggunaannya. Menurutnya, dari segi hukum, AI bukanlah subjek hukum seperti manusia. Meskipun memiliki tingkat kecerdasan yang bahkan melebihi manusia, akan tetapi AI tidak memiliki kesadaran seperti manusia.

Dari perspektif hukum, tanggung jawab hukum hanya dapat dikenakan pada subjek yang memiliki kesadaran. Oleh karena itu, dari sudut pandang hukum perdata, AI dapat diminta pertanggungjawaban berdasarkan konsep analogi vicarious liability sebagaimana termaktub dalam Pasal 1367 KUHP.

Berdasarkan konsep ini, AI dianggap berada di bawah ‘pengawasan’ pihak lain, sehingga pertanggungjawaban hukum AI ada pada individu atau entitas yang mengawasinya. Lebih lanjut, Dr. Sari menyatakan bahwa pengaturan terkait penggunaan AI di Indonesia diperlukan, namun pengaturannya tidak boleh terlalu kaku sehingga menghambat inovasi. Yang perlu diatur sebenarnya adalah individu atau badan hukum yang menciptakan AI.

Sebagai kesimpulan, apapun peran kita sebagai pengguna, pemanfaat, maupun pembuat AI, kita harus tetap menyadari bahwa kendali atas penggunaan AI ada di tangan kita. Kita perlu menggunakan AI dengan bijak dan beretika. Kita harus belajar untuk menyaring berita palsu, hoax, atau informasi yang tidak jelas. Karena keberadaan AI hanya sebagai media pembantu bukan Tuhan yang segalanya mampu.

Semoga acara diskusi publik ini dapat membantu meningkatkan pemahaman kita tentang penggunaan AI dalam konteks pemilu 2024.